Thursday 29 December 2011

DERU OMBAK DI HATI (Penutup)

PANTAI Pasir Putih

Sudah hampir berangkat pulang ke tanah air, tetapi mengapa masih juga kudengar deru ombak yang mengocak di dada. Berapakah jumlah pantai yang menggembur ombak di hatimu ? Terpercik bahagia di wajah luka. Akupun menghitung beberapa wajah pantai dan deru ombak yang menyimbah cinta!  Aku pernah  meninggalkan tergesa melarikan diri dari deruan ombak di Pasir Putih, Surabaya ketika sahabat pelukis yang baru kukenali mengajak melukis. Aku tidak tahu, apakah benar Jor ingin melukis laut dan ombak. Pelukis dari AKSERA itu bersungguh menawar untuk bersama melukis laut.
" Ombaknya cantik, bila perahu kita oleng dan melambung, aku akan berkemudi, dengan hebat, usah gusar, ayuh mahu temanin aku melukis ombak?"  
" Melukis ombak, wow hebat. Oke aku ikut"
" Rambut panjangmu cantik, bagai ombak mengalun !"
" Ah kau mula bercanda. Hee mana kanvasmu?"
" Ya adalah...nanti, kau ku peluk dulu, baru lukis wajahmu?"

Tetapi laut Pantai Pasir Putih, bukan laut untuk bercanda cinta. Angin menderu , perahu bercadik kami mula melambung dipukul ombak yang tiba-tiba mengulung dari laut biru nilam. Aku ketakutan, memeluk tubuh sendiri tetapi selepas itu  membiarkan tubuhku kaku dalam dakapan kemas dengan tangan  perkasa merangkul bahu hingga ke pinggang. Perahu kecil bercadik memang dilambung ombak, tetapi Allah swt masih menyelamatkan kami, kerana lambungan perahu kecil itu justeru terhumban ke pasir pantai.Pakaian kami  basah  kuyup dan aku  sendiri beberapa kali memuntah air dan seorang nelayan sudah berdiri di sisi  dengan menghulur botol air.

" Minumlah nak, seharusnya di musim gelora ini, kalian jangan cuba berani bermain  ombak. Mujur Sang Restu masih berbaik hati, kembali melambungkan perahu setelah mengheret  jauh ke sana, dan jatuh ke pasir. Kalau nun ke sana, ke cerancang tajam  batu karang, waduh...." 

Itulah detik pertama, acara melukis gagal. Selepas itu aku  segera meminta diri, menghenti perjalanan penuh teka teki...
" Esok aku harus pulang Jor"
" Waduh, kita masih ada acara, melukis ke gunung !"
" Ah , udah aku capek..minggu depan sudah mulai kuliah. Aku harus buat persiapan"
" Takut sama Nyoman ya, sori aku bercanda aje deh" 

Pagi bening esoknya aku  tergesa meninggalkan losmen dengan beca menuju stesyen kereta api.Sekeping nota kutinggalkan di meja penyambut tamu setelah melunas tambahan sewa kamar . Tidak tahu jam berapa  Jor datang  dan  membaca, entah merobek atau melupakan saja tulisan tergesaku, 

Tidak ku kesal
ya yang hilang
datang pulang
senyum cinta berbalik
untuk nafas sedenyut
dari Nya! Uji Sakit
tetap indah Jor
MasyaAllah!

PANTAI Parang Tritis

Tidak banyak lukisanku mengambil pemandangan dan warna  pantai. Aku lebih kerap mendengar ombak, melihat gulungannya yang berlapis, bergulung,menderu, melompat, dan mengeliting buih ke lidah pantai.  Program melukis di Parang Tritis memang tidak mengizinkan kami terjun berenang di lautan  yang anker itu. Cerita lagenda  yang dianggap benar dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta, telah meninggal pesan, jangan sembarangan bercanda di Pantai Selatan...Laut itu dijaga penuh iri oleh Nyai Loro Kidul, pembantu Rtu Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul yang kononnya isteri mistika Raja Jawa yang menguasi Pantai Selatan. Kedua-dua kraton Jawa ini menghormati lagenda ini, hingga masih menghormati Pantai Parangkesuma  di Bantul, Jogya atau Patai Paranggupita di Wonogiri.

Beberapa kali Atiek, puteri warisan kraton Jogja  berpesan kepada kami, pembatu Ratu Loro Kidul  itu Nyi Loro Kidul suka warna hijau. Kononnya pengunjung berbusana hijau tidak selamat
 bermain di pantai kerana ombak akan menyambar di bawa ke laut untuk dijadi pembantu di kraton laut Ratu Laro Kidul. Oh lagenda yang begtu mistis.   Ratu Laut Selatan, pemilik segala gelombang, segala hidupan, konon dapat masuk keterowong yang menuju ke kraton sultan . Bayangkan dia ialah permaisuri  Sultan  Jawa. Mitos yang mempersonakan. Tetapi di antara kami memang  ada yang memuja Nyai Loro Kidul, selalu bergaya luwes, bicara begitu perlahan sopan dan berjalan gemalai. Dia juga adalah puteri waris kraton  Jawa Lama.

Tetapi tidak seorangpun diantara kami yang  memperdulikan  keturunan itu. Apa lagi bisik Nurma, " Kok nggak pernah ngundangi kita ke kraton, kok sesekali undanglah kami huuu". Diam-diam aku tersenyum kerana aku sudahpun pernah makan semeja dengan waris  ibunda Ratu di rumah pintu selatan kraton. 

Sekarang melukis di pantai aneh ini? Memang tidak seorang pun berani terjun berenang ke Laut Selatan. Kami bermalam, memasang unggun api, Ginting mula memetik gitar, Nurma Tarigan sudah menarik nafas Batak Karonya...suara Batak yang lapang mengaum di malam berbintang berkilauan di Parang Tritis.  Di iringi desah gisiran daun pandan dihembus bayu malam. Ya esoknya pagi-pagi kami wajib menyiapkan sketsa, tiada masa untuk menjalin atau menumbuhkan gelora cinta. 



DARI Budi Kemuliaan  ke Tanjung Periuk

Angin rusuh sungguh meremuk hatiku. Hanya kerana tidak dapat menerima cintanya, aku terus rasa bersalah . Si dia  terus merayu tetapi sinis juga,  " Mentang-mentang kau dikejari cowok Malaysia, kau pandang rendah kepadaku. Kau kejam Zain, aku tahu pacar Malaysia mu si Husni, si Zali, tu yang di Bandung juga di  Surabaya , memang aku bodoh menggilaimu "  . Jantungku berdetak deras. Sunguh dia meneropong terus perjalananku. Memang aku kerap ke rumah Pusat Pelajar Malaysia (PKKPMI) di Kota Baru, Bulak Sumur.  Aku ke Surabaya, terus ke Bali utuk melukis. Aku ke Semarang untuk mengurus perpanjangan  visa pelajar, ke Jakarta untuk mengurus surat kesamaan sijil HSC setaraf dengan SMA. Selama di Jakarta tempat penginapanku, kalau tiba pagi terus menuju Galeri di Jalan  Gereja Theresia. Siangnya berjanji dengan Wan Azizan di PKPMI, di  Budi Kemuliaan,  dibantu oleh Syed untuk surat-surat rasmi dari Atace Pendidikan. Malam di bawa menginap di rumah mereka yang berkongsi Wan Azizan , Kak Hamadah, Kamarauddin, Isa...Jadi si dia boleh saja  curiga mengira aku bebas bertukar pacar. Ini sungguh menghina. Puncak hinaan itu membuat aku lari meniggalkan Jogja sehelai sepinggang. Dengan bercapal , beg galas cukup wang tiket keretapi kelas tiga, sedikit bekalan, aku meloncat ke kereta api malam yang segera akan berangkat. Sungguh tiket juga kubayar di dalam gerabak.

Kereta api tiba di steseyen Gambir pukul 6.30 pagi.  Aku keluar menyusur pelahan, mencari warong di pinggir jalan, membeli secangkir teh manis. Merenung dalam-dalam kehidupan belajar untuk menjadi seniman. Tetapi aku perempuan, masih dianggap tabu berjalan sendirian . Gadis Jawa keluar mesti ditemani saudara atau kalau sudah berpacaran, si pacarlah  yang menghantar ke sana sini. Tetapi aku, yang belum tega serius berpacaran, kerap berani keluar berjalan sendiri. Tiba ke mana saja yang ku fikir selamat. Sekarang aku harus mencari penyelamat di Jakarta. Kulambai  beca minta dihantarin ke Cikini Raya. Aku harus buat laporan kepada Pak  Rektor ASRI...aku datang untuk belajar bukan mencari pacar.
" Saya dihina begitu sekali oleh si dia, saya sedih Pak". Mampukah aku bicara begitu kepada Sang Rektor yang memang menginap di hotel Cikirni Raya tidak ajuh dari Taman Ismail Marzuki. Rektor kami juga  berjabatan di Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan dan kerap berulang alik Jakarta - Jogja. 

Kerana tiba begitu awal, aku harus menungu di ruang tamu sehingga Pak Rektor keluar dari biliknya untuk ke kantornya di Taman Ismail Marzuki. Barangkali kerana kasihan aku menunggu lama pengurus hotel sendiri mengetuk pintu .

Ku dengar suaranya ," Maaf Pak, ada tamu menunggu sudah hampir satu jam, katanya penting untuk bicara  sama bapak"  

" Siapa, cewek, cowok? "
" Cewek Pak, katanya mahasiswi ASRI"
" Wualah, edan, sopo tho - ya udah masuk aja ke sini  "

Pak Rektor keluar sudah siap perpakaian, dan setengah terkejut aku tiba-tiba mendadak mencarinya.
" Lho ada masaalah apa mencari saya ? Nyoman pasti! "
Aku terkejut juga, dengan pertanyaan begitu
" Sudahlah saya sudah tahu, Nyoman juga mengadu, Zain sudah menolakknya, apa sudah punya pacar anak Malaysia? Ngak apa-apa toh, Zain berhak, pilih sendiri ..." 

Aku pula terpinga-pinga, malah tidak perlu mengadu lagi. Lebih terkejut lagi betapa baik hati sekali Sang  Rektor yang memperduli masaalah mahasiswanya. 

"Lho, kamu ngak bawa tas pakaian? "

Aku hanya menggeleng kepala, antara malu, kesal dan berwajah setengah bodoh.

" Udah, nah ke sana, masuk kamar, pilih saja baju saya, hem panjang boleh dipakai , labuh to jadi rok, celana dalam juga ngak bawa? "

Setengah mati aku terkejut dan malu...kok prihatin sekali beliau dengan dunia perempuan.

" Sudah, ambil wang ini, pergi beli pakaian pentingmu...saya sudah ada rapat...mahu kemana siang  dan malam nanti nginap di mana? "

Belum sempat aku menjawab, Pak Rektor sudah hilang masuk ke mobil dinasnya. Aku terpinga, merasa sedikit malu, tetapi tersenyum sendiri, mempunyai seorang ayah di rantau. Aku membuka genggaman, melihat nota RP 100.000 hulurannya yang begitu tinggi nilainya pada tahun 1970an. Akupun bagai melihat awan putih berawan dengan cantik berbunga di hati. Selepas ini aku akan mandi di kamar singgahnyanya , memilih baju kemejanya yang beranika warna dan bunga. Kupilih kemeja merah jambu, kain kapas, berbunga renik putih, menyarungnya, sungguh labuh hingga kelutut. Kurapikan dengan tali pinggangku dan kelihatan seperti gaun. Sehelai kumasukkan ke dalam beg galas. Cukuplah untuk dua malam di Paseban - Salemba menumpang tidur di rumah Kak Hamadah atau kalau mereka tiada, aku menumpang saja  di Budi Kemuliaan...

BUDI Kemulian! Nama sejarah dalam kehidupan kebanyakan pelajar Malaysia di Indonesia.  Rumah + Pejabat Pendidikan Kedutaan Malaysia ini memang harus dikunjugi, melapor diri atau mendaftar sebagai pelajar baru . Di sini aku berkenalan dengan En Kamaruddin, Syed, Ghazali Abbas, kemudian di bawa ke rumah Kak Hamadah di Peseban. Rumah ini juga menjadi tempat singgahan, bermalam, walau memang tidak ada kamar lagi kerana sudah ditempati atau di sewa oleh pelajar lelaki, ketika itu.

Memang aku dapat merasakan keanihan teman-teman dan pelajar lelaki Malaysia kenapa aku selalu datang bersendiri. Tanpa janji dan seenak menumpang tidur kadang hanya di ruang tamu, di kerusi panjang di situ. Dasarnya memang tidak ada pilihan, kalau tiba waktu sudah senja dan jalan macet, atau hujan lebat. di ruang tamu rumah itulah aku menginap. Sempat bersahabat dengan kumpulan pelajar-pelajar Akademi Ilmu Pelayaran (AIP). Kebetulan aku memang mencari Mazlan, ibunya berasal dari kampung  Gombak. Bererti kami orang sekampung.  Bayangkan bagaimana kami tidur  (sebenarnya tidak dapat tidur, aku harus berjaga-jaga) kerana asyik bercerita.  Cerita kehulu hilir dengan latar pengalaman anak Malaysia di rantau. Di situ kukenali Nizam, Nik, Kamarulzaman, Mazlan. Mereka jua meramaikan acara pameran lukisanku di  Taman Ismail Marzuki. Kadang aku tercari juga di mana Kin ? Jawab Nizam " Malam minggu dia  wakuancar hahaa". Kenapa hatiku tertanyakan selalu dia atau kerana agak pendiam dibandingkan dengan Niza,Kamal yang kerap membuat aku ketawa?

Hingga mereka akan belayar hatiku juga berdetik, mungkin inilah perpisahan...aku tidak berani menunggu lelaki pelaut. Pelaut yang kaya degan pengalaman, bergelora tidak saja oleh oleng ombak tetapi juga bersambut gelora di pelabuhan. Aku berpisah dengan pelaut muda itu tanpa sebarang janji dan harapan...apakah kami akan berjumpa lagi dengan mengucapkan kekesalan kami,
" seharusnya aku berkata, selamat belayar, kirimlah surat , aku menunggumu!"
dan aku mengharap dia akan menyatakan,
" Selamat berjumpa lagi sayang, tunggu aku "  atau sesekali dia mengirim poskad dari pelabuhan yang di singgahinya.

Ombak dan gelombang laut boleh kau lihat. Tetapi ombak di hati
bergelora dengan kencang kupendam sendiri. Sehingga bertahun -
tahun deru ombak itu terus memukul sebak di hati. Salahlah aku kalau masih menyerunya di mana kau Putera Laut?