Thursday 29 December 2011

DERU OMBAK DI HATI (Penutup)

PANTAI Pasir Putih

Sudah hampir berangkat pulang ke tanah air, tetapi mengapa masih juga kudengar deru ombak yang mengocak di dada. Berapakah jumlah pantai yang menggembur ombak di hatimu ? Terpercik bahagia di wajah luka. Akupun menghitung beberapa wajah pantai dan deru ombak yang menyimbah cinta!  Aku pernah  meninggalkan tergesa melarikan diri dari deruan ombak di Pasir Putih, Surabaya ketika sahabat pelukis yang baru kukenali mengajak melukis. Aku tidak tahu, apakah benar Jor ingin melukis laut dan ombak. Pelukis dari AKSERA itu bersungguh menawar untuk bersama melukis laut.
" Ombaknya cantik, bila perahu kita oleng dan melambung, aku akan berkemudi, dengan hebat, usah gusar, ayuh mahu temanin aku melukis ombak?"  
" Melukis ombak, wow hebat. Oke aku ikut"
" Rambut panjangmu cantik, bagai ombak mengalun !"
" Ah kau mula bercanda. Hee mana kanvasmu?"
" Ya adalah...nanti, kau ku peluk dulu, baru lukis wajahmu?"

Tetapi laut Pantai Pasir Putih, bukan laut untuk bercanda cinta. Angin menderu , perahu bercadik kami mula melambung dipukul ombak yang tiba-tiba mengulung dari laut biru nilam. Aku ketakutan, memeluk tubuh sendiri tetapi selepas itu  membiarkan tubuhku kaku dalam dakapan kemas dengan tangan  perkasa merangkul bahu hingga ke pinggang. Perahu kecil bercadik memang dilambung ombak, tetapi Allah swt masih menyelamatkan kami, kerana lambungan perahu kecil itu justeru terhumban ke pasir pantai.Pakaian kami  basah  kuyup dan aku  sendiri beberapa kali memuntah air dan seorang nelayan sudah berdiri di sisi  dengan menghulur botol air.

" Minumlah nak, seharusnya di musim gelora ini, kalian jangan cuba berani bermain  ombak. Mujur Sang Restu masih berbaik hati, kembali melambungkan perahu setelah mengheret  jauh ke sana, dan jatuh ke pasir. Kalau nun ke sana, ke cerancang tajam  batu karang, waduh...." 

Itulah detik pertama, acara melukis gagal. Selepas itu aku  segera meminta diri, menghenti perjalanan penuh teka teki...
" Esok aku harus pulang Jor"
" Waduh, kita masih ada acara, melukis ke gunung !"
" Ah , udah aku capek..minggu depan sudah mulai kuliah. Aku harus buat persiapan"
" Takut sama Nyoman ya, sori aku bercanda aje deh" 

Pagi bening esoknya aku  tergesa meninggalkan losmen dengan beca menuju stesyen kereta api.Sekeping nota kutinggalkan di meja penyambut tamu setelah melunas tambahan sewa kamar . Tidak tahu jam berapa  Jor datang  dan  membaca, entah merobek atau melupakan saja tulisan tergesaku, 

Tidak ku kesal
ya yang hilang
datang pulang
senyum cinta berbalik
untuk nafas sedenyut
dari Nya! Uji Sakit
tetap indah Jor
MasyaAllah!

PANTAI Parang Tritis

Tidak banyak lukisanku mengambil pemandangan dan warna  pantai. Aku lebih kerap mendengar ombak, melihat gulungannya yang berlapis, bergulung,menderu, melompat, dan mengeliting buih ke lidah pantai.  Program melukis di Parang Tritis memang tidak mengizinkan kami terjun berenang di lautan  yang anker itu. Cerita lagenda  yang dianggap benar dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta, telah meninggal pesan, jangan sembarangan bercanda di Pantai Selatan...Laut itu dijaga penuh iri oleh Nyai Loro Kidul, pembantu Rtu Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul yang kononnya isteri mistika Raja Jawa yang menguasi Pantai Selatan. Kedua-dua kraton Jawa ini menghormati lagenda ini, hingga masih menghormati Pantai Parangkesuma  di Bantul, Jogya atau Patai Paranggupita di Wonogiri.

Beberapa kali Atiek, puteri warisan kraton Jogja  berpesan kepada kami, pembatu Ratu Loro Kidul  itu Nyi Loro Kidul suka warna hijau. Kononnya pengunjung berbusana hijau tidak selamat
 bermain di pantai kerana ombak akan menyambar di bawa ke laut untuk dijadi pembantu di kraton laut Ratu Laro Kidul. Oh lagenda yang begtu mistis.   Ratu Laut Selatan, pemilik segala gelombang, segala hidupan, konon dapat masuk keterowong yang menuju ke kraton sultan . Bayangkan dia ialah permaisuri  Sultan  Jawa. Mitos yang mempersonakan. Tetapi di antara kami memang  ada yang memuja Nyai Loro Kidul, selalu bergaya luwes, bicara begitu perlahan sopan dan berjalan gemalai. Dia juga adalah puteri waris kraton  Jawa Lama.

Tetapi tidak seorangpun diantara kami yang  memperdulikan  keturunan itu. Apa lagi bisik Nurma, " Kok nggak pernah ngundangi kita ke kraton, kok sesekali undanglah kami huuu". Diam-diam aku tersenyum kerana aku sudahpun pernah makan semeja dengan waris  ibunda Ratu di rumah pintu selatan kraton. 

Sekarang melukis di pantai aneh ini? Memang tidak seorang pun berani terjun berenang ke Laut Selatan. Kami bermalam, memasang unggun api, Ginting mula memetik gitar, Nurma Tarigan sudah menarik nafas Batak Karonya...suara Batak yang lapang mengaum di malam berbintang berkilauan di Parang Tritis.  Di iringi desah gisiran daun pandan dihembus bayu malam. Ya esoknya pagi-pagi kami wajib menyiapkan sketsa, tiada masa untuk menjalin atau menumbuhkan gelora cinta. 



DARI Budi Kemuliaan  ke Tanjung Periuk

Angin rusuh sungguh meremuk hatiku. Hanya kerana tidak dapat menerima cintanya, aku terus rasa bersalah . Si dia  terus merayu tetapi sinis juga,  " Mentang-mentang kau dikejari cowok Malaysia, kau pandang rendah kepadaku. Kau kejam Zain, aku tahu pacar Malaysia mu si Husni, si Zali, tu yang di Bandung juga di  Surabaya , memang aku bodoh menggilaimu "  . Jantungku berdetak deras. Sunguh dia meneropong terus perjalananku. Memang aku kerap ke rumah Pusat Pelajar Malaysia (PKKPMI) di Kota Baru, Bulak Sumur.  Aku ke Surabaya, terus ke Bali utuk melukis. Aku ke Semarang untuk mengurus perpanjangan  visa pelajar, ke Jakarta untuk mengurus surat kesamaan sijil HSC setaraf dengan SMA. Selama di Jakarta tempat penginapanku, kalau tiba pagi terus menuju Galeri di Jalan  Gereja Theresia. Siangnya berjanji dengan Wan Azizan di PKPMI, di  Budi Kemuliaan,  dibantu oleh Syed untuk surat-surat rasmi dari Atace Pendidikan. Malam di bawa menginap di rumah mereka yang berkongsi Wan Azizan , Kak Hamadah, Kamarauddin, Isa...Jadi si dia boleh saja  curiga mengira aku bebas bertukar pacar. Ini sungguh menghina. Puncak hinaan itu membuat aku lari meniggalkan Jogja sehelai sepinggang. Dengan bercapal , beg galas cukup wang tiket keretapi kelas tiga, sedikit bekalan, aku meloncat ke kereta api malam yang segera akan berangkat. Sungguh tiket juga kubayar di dalam gerabak.

Kereta api tiba di steseyen Gambir pukul 6.30 pagi.  Aku keluar menyusur pelahan, mencari warong di pinggir jalan, membeli secangkir teh manis. Merenung dalam-dalam kehidupan belajar untuk menjadi seniman. Tetapi aku perempuan, masih dianggap tabu berjalan sendirian . Gadis Jawa keluar mesti ditemani saudara atau kalau sudah berpacaran, si pacarlah  yang menghantar ke sana sini. Tetapi aku, yang belum tega serius berpacaran, kerap berani keluar berjalan sendiri. Tiba ke mana saja yang ku fikir selamat. Sekarang aku harus mencari penyelamat di Jakarta. Kulambai  beca minta dihantarin ke Cikini Raya. Aku harus buat laporan kepada Pak  Rektor ASRI...aku datang untuk belajar bukan mencari pacar.
" Saya dihina begitu sekali oleh si dia, saya sedih Pak". Mampukah aku bicara begitu kepada Sang Rektor yang memang menginap di hotel Cikirni Raya tidak ajuh dari Taman Ismail Marzuki. Rektor kami juga  berjabatan di Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan dan kerap berulang alik Jakarta - Jogja. 

Kerana tiba begitu awal, aku harus menungu di ruang tamu sehingga Pak Rektor keluar dari biliknya untuk ke kantornya di Taman Ismail Marzuki. Barangkali kerana kasihan aku menunggu lama pengurus hotel sendiri mengetuk pintu .

Ku dengar suaranya ," Maaf Pak, ada tamu menunggu sudah hampir satu jam, katanya penting untuk bicara  sama bapak"  

" Siapa, cewek, cowok? "
" Cewek Pak, katanya mahasiswi ASRI"
" Wualah, edan, sopo tho - ya udah masuk aja ke sini  "

Pak Rektor keluar sudah siap perpakaian, dan setengah terkejut aku tiba-tiba mendadak mencarinya.
" Lho ada masaalah apa mencari saya ? Nyoman pasti! "
Aku terkejut juga, dengan pertanyaan begitu
" Sudahlah saya sudah tahu, Nyoman juga mengadu, Zain sudah menolakknya, apa sudah punya pacar anak Malaysia? Ngak apa-apa toh, Zain berhak, pilih sendiri ..." 

Aku pula terpinga-pinga, malah tidak perlu mengadu lagi. Lebih terkejut lagi betapa baik hati sekali Sang  Rektor yang memperduli masaalah mahasiswanya. 

"Lho, kamu ngak bawa tas pakaian? "

Aku hanya menggeleng kepala, antara malu, kesal dan berwajah setengah bodoh.

" Udah, nah ke sana, masuk kamar, pilih saja baju saya, hem panjang boleh dipakai , labuh to jadi rok, celana dalam juga ngak bawa? "

Setengah mati aku terkejut dan malu...kok prihatin sekali beliau dengan dunia perempuan.

" Sudah, ambil wang ini, pergi beli pakaian pentingmu...saya sudah ada rapat...mahu kemana siang  dan malam nanti nginap di mana? "

Belum sempat aku menjawab, Pak Rektor sudah hilang masuk ke mobil dinasnya. Aku terpinga, merasa sedikit malu, tetapi tersenyum sendiri, mempunyai seorang ayah di rantau. Aku membuka genggaman, melihat nota RP 100.000 hulurannya yang begitu tinggi nilainya pada tahun 1970an. Akupun bagai melihat awan putih berawan dengan cantik berbunga di hati. Selepas ini aku akan mandi di kamar singgahnyanya , memilih baju kemejanya yang beranika warna dan bunga. Kupilih kemeja merah jambu, kain kapas, berbunga renik putih, menyarungnya, sungguh labuh hingga kelutut. Kurapikan dengan tali pinggangku dan kelihatan seperti gaun. Sehelai kumasukkan ke dalam beg galas. Cukuplah untuk dua malam di Paseban - Salemba menumpang tidur di rumah Kak Hamadah atau kalau mereka tiada, aku menumpang saja  di Budi Kemuliaan...

BUDI Kemulian! Nama sejarah dalam kehidupan kebanyakan pelajar Malaysia di Indonesia.  Rumah + Pejabat Pendidikan Kedutaan Malaysia ini memang harus dikunjugi, melapor diri atau mendaftar sebagai pelajar baru . Di sini aku berkenalan dengan En Kamaruddin, Syed, Ghazali Abbas, kemudian di bawa ke rumah Kak Hamadah di Peseban. Rumah ini juga menjadi tempat singgahan, bermalam, walau memang tidak ada kamar lagi kerana sudah ditempati atau di sewa oleh pelajar lelaki, ketika itu.

Memang aku dapat merasakan keanihan teman-teman dan pelajar lelaki Malaysia kenapa aku selalu datang bersendiri. Tanpa janji dan seenak menumpang tidur kadang hanya di ruang tamu, di kerusi panjang di situ. Dasarnya memang tidak ada pilihan, kalau tiba waktu sudah senja dan jalan macet, atau hujan lebat. di ruang tamu rumah itulah aku menginap. Sempat bersahabat dengan kumpulan pelajar-pelajar Akademi Ilmu Pelayaran (AIP). Kebetulan aku memang mencari Mazlan, ibunya berasal dari kampung  Gombak. Bererti kami orang sekampung.  Bayangkan bagaimana kami tidur  (sebenarnya tidak dapat tidur, aku harus berjaga-jaga) kerana asyik bercerita.  Cerita kehulu hilir dengan latar pengalaman anak Malaysia di rantau. Di situ kukenali Nizam, Nik, Kamarulzaman, Mazlan. Mereka jua meramaikan acara pameran lukisanku di  Taman Ismail Marzuki. Kadang aku tercari juga di mana Kin ? Jawab Nizam " Malam minggu dia  wakuancar hahaa". Kenapa hatiku tertanyakan selalu dia atau kerana agak pendiam dibandingkan dengan Niza,Kamal yang kerap membuat aku ketawa?

Hingga mereka akan belayar hatiku juga berdetik, mungkin inilah perpisahan...aku tidak berani menunggu lelaki pelaut. Pelaut yang kaya degan pengalaman, bergelora tidak saja oleh oleng ombak tetapi juga bersambut gelora di pelabuhan. Aku berpisah dengan pelaut muda itu tanpa sebarang janji dan harapan...apakah kami akan berjumpa lagi dengan mengucapkan kekesalan kami,
" seharusnya aku berkata, selamat belayar, kirimlah surat , aku menunggumu!"
dan aku mengharap dia akan menyatakan,
" Selamat berjumpa lagi sayang, tunggu aku "  atau sesekali dia mengirim poskad dari pelabuhan yang di singgahinya.

Ombak dan gelombang laut boleh kau lihat. Tetapi ombak di hati
bergelora dengan kencang kupendam sendiri. Sehingga bertahun -
tahun deru ombak itu terus memukul sebak di hati. Salahlah aku kalau masih menyerunya di mana kau Putera Laut?

Friday 9 September 2011

15. JOGJA TATAP PANDANG MENJELANG PULANG


SELESAI  pameran di Galeri Senisono, aku sudah merencana untuk pameran  di Jakarta. Tetapi bagaimana caranya. Jogja kurasa semakin tipis awannya, tidak menampakkan hujan turun. Masih membawa bahang hangat dan aku berkeringat sepanjang jalan di celah-celah pasar Bringharjo di Malioboro.Aku membeli buah yang tidak mudah kudapati di pasar tanah air. Kupilih buah kasmek yang berbedak itu (pisang kaki), buah jipang (timun jepun) untuk ku nikmati .  Kubeli sebungku nasi gudeg berlauk ayam dan nangka yang dimasak bersantan hingga dagingnya lembut. Tetapi dasar pelukis aku masih ingin terus membuat lakaran.

Akupun berlindung  di bawah payung kertas terkembang tetapi robek di sana sini, mula melakar. Masih ingin merakam tubuh Tugu Malioboro dengan wajah jam besar di depan Istana. Selepas itu ku pacu  motorku menderu ke Ngasem masuk ke pasar  burung. Kucari pasu tanah kecil berbentuk mangkuk minuman burung, bekas teko semuanya kecil supaya mudah dibawah pulang. Hussin dan Zul mengajak berkelah ke pantai Baron..kami pergi beramai dengan kawan-kawan PKPMI, hingga tiba ke Prambanan  dan memanjat  kubah Borobudur. Aku tidak menemukan apa-apa untuk di seret pulang kecuali menambah lakaran untuk nota himpunan zamanku di Jogja. Aku balik ke pasar, mengheret sandal tipisku, keringat mengalir membasahi jaket, kuteringat barang logam, ya harus mencari loceng logam yang serimg tergantung di leher sapi atau kambing. Membayangkan bunyi kerining loceng setiap kali binatang itu berjalan, bertiduran malas di pasar sapi. Ketemu loceng sejengkal tingginya. Logam tembaga berat, dengan buahnya dari logam juga ,ku seret akan dibawa pulang kelak. Wiwis anak kecil di rumah  kost ku berlarian ingin bermain dengan loceng tersebut. Cepat kusembunyi sebelum dibawanya lari. Kenapa loceng? Hatiku berdetak sendiri? Ya loceng mengingatkan aku tentang waktu, tentang hak milik ya aku harus menggenggam loceng peringatan, kau pernah ada meninggalkan jejak di Jogja !
Para Dosen yang membimbingku

Di kampus ASRI  Gampingan aku mula menjabat tangan mengucapkan terima kasih tidak terhingga kepada para dosen yang mengajar dan membimbingku. Pak Widayat yang mengajar kelas dekorasi, Pak Soedarso, ahli Sejarah Seni Lukis Moden,  Pak Kadir MA mengajar Filsafat Barat, Pak Fajar Sidik mengajar Design Elementer...Semua tertanya " Loh kok nggak nunggu acara Wisuda  ijazah? ". " Maaf Pak, masih lama tarikh itu...saya harus pulang cepat, sudah ada kerja lain Pak". Aku berdalih " Pak Fajar ketawa sambil memberi komentar, " Tahniah sudah ada kerja , baguslah " ...Ak juga perlu melapor ke Ibu Brodjo, di warungnya di depan rumah Kuncen.." Bu saya mahu pulang, mohon hutang makannya ditangguh dulu ya, selepas saya dapat kerja akan saya kirim sisa hutang makan saya ya bukkk " . Ibu Brodjo mendakapku, " Ooollha ndouk, oundouk, ora nopo -nopo tho...halal ojo to...." . Aku terkedu dengan kebaikan ibu yang kerap memberiku sepirig nasi dengan lauk tempe dan tauhu di warong makannya. 

Di hari lain, kusinggah di rumah Ibu Hadi, sekali lagi aku didakap wanita ampuh, baik hati yang kerap mengeroki badanku kalau aku datang kerana demam dan bermalam di rumahnya. Terlalu banyak yang baik hati untuk kucatat, tidak tercatat. Mami Kartika dan Nenek Mariyati - isteri Affandi sibuk sekali memberi aku dorongan " Izan sebelum pulang, harus buat pameran di Jakarta,
, ayuh  hubungi Kedutaan Malaysia, itu tugas mereka lho...untuk promosi Malaysis jugakan ...ada calon pelukis Malaysia belajar di Jogja". Aku tambah bersemangat...ya pameran lagi sebelum pulang ke tanah  air.
Selepas itu memang bagai setengah mimpi, terkejut, sekeping surat tiba dari Jakarta...Penasihat  Pendidikan Kedutaan Malaysia dari Jakarta akan datang menemuku! Surat bertanda dengan  nama Murtaza  ZAABA !. Allahuakbar.

10 September 2011 

Monday 5 September 2011

14. SANGGAR PUTIH PENAJA PAMERAN

   Melakar di Gembiraloka dengan teman-teman senior ,
 Wardoyo, Enderin, Giono

JURUSAN Seni Lukis ASRI memang kerap riuh dengan kerja amali di luar studio. Kebetulan yang dapat terus naik ke tahun ke dua tinggal beberapa orang saja perempuan. Beberapa orang entah kemana menghilang. Yovita juga tiba-tiba tidak muncul. Nurma Tarigan kadang ada kadang hilang. Aku terus seperti biasa kerap keluar melakar. Anehnya setiap melakar di Malioboro, ke Gembiraloka selalu saja muncul teman-teman lebih senior..dan kami selalu bergabung, dan aku tidak peduli meneruskan kerja seni. Memang ada yang cuba mendekati, tetapi kerana aku sibuk melakar dan beralih tempat, mereka tidak sanggup mengekoriku lagi...akhirnya aku sendiri lagi.

Patung wayang kulit Jawa koleksi Galeri Melora, 1972

Paling bebas dan tenang melukis ialah bila melangkah ke muzium dengan koleksi wayang kulit.  Wayang kulit Jawa yang jauh berbeza dnegan wayang kulit Melayu Kelantan dengan mudah dapat kudekati. Watak Bagong dan Semar paling kuminati. Teknik menggaris bebas lincah sudah kupelajari dari Nyoman. Tetapi supaya tidak terikat dengan gaya garis ekspresifnya aku mula menumpah tinta hitam bertompok ke atas kertas, lalu melariknya dengan    lincah menggunakan batang lidi. Tinta mengalir ke bawah.  Percubaan kebetulan terjadi ketika aku melukis di bawah gerimis, dan tinta jatuh di atas kertas. Percikan gemiris cepat mengalirkan tinta dan airnya begitu aneh dan terkesan dengan bentuk bebas. Akhirnya garisku sudah berwarna dengan tiga lapisan tona yang bebas, garis, ruang hitam cair dan hitam pekat.  

 Bagong-Semar, Cat Minyak, 45 x 45 cm

Selesai ujian akhir, dan viva skripsi aku meluru keluar cepat dari  ruang ujian lisan. Aku tidak sanggup menunggu keputusan, lulus atau tidak . Aku ngeri kalau keputusan  membawa takdir  malang. Seseorang mengejarku dari belakang, Kutoleh  selintas, rupanya Ibu sekretaris penata Ujian Sarjana. "  Hei mbak Jenon kok buru-buru, kau lulus terpuji...skripsimu  bagus dan cara kau mempertahan idea ekspresioisme, Pak Fajar senang !  Ayuh kapan pameran? " Ayat terakhir itu membuat aku tersentak dua kali. Sebelum ujian lisan - viva mempertahankan skripsi, memang setiap calon sarjana wajib membuat pameran. Pameran karya ini akan dinilai untuk dianalisis sama ada dapat masuk ujian viva atau tidak...sekarang Ibu Skretaris bertanya ' Kapan Pameran? Kenapa tidak.
Aku seakan terkulai di bawah pohon rendang menghadap ke Sanggar Putih, milik pelukis Amri Yahya. Amri Yahya...ya aku harus berjumpa beliau dan menghkhabarkan aku sudah lulus dan boleh membuat pameran solo!

Datuk Arshad Ayub , rombongan MARA  dan Kementerian
Pendidikan turut hadhir melihat pameran lukisanku
 di Galeri Senisono, Feb 1974

Atas sokongan Pak Amri Yahya (Almrhum) , agak sukar kupercayai  atas kesudian beliau menaja pameranku:  mencetak katelog, sewa dewan pameran dan jamuan . Sampai sekarang masih belum kutemui jawabannya. Beliau hanya bersuara, ' Ya udah siapkan  lukisan, bawa ke galeri beres...nanti kita cetak kalelog pameran, undang anak-anak Malasyia  biar rame..."  Mungkinkah kerana aku yang setia berulang alik masuk ke galeri beliau atau kerap datang memenuhi acara ceramah seni di Sanggar Putihnya sehingga beliau dapat  menilai kecenderungan  dan keseriusan anak muda ini. Inilah pameran solo ku yang ke tiga setelah pameran di Shah Motel (1969), dan di British Counsil (1972) anjuran APS.  Mungkinkah akan bersambut pula pameran di Jakarta. Mana tahu Kedutaan Malaysia sudi menaja pameran ku di Taman Ismail Marzuki?

Buat Pak Amri Yahya, semoga ruhmu  beliau diberi cahaya lindungan  kasih Ilahi sesuai dengan amalam seni mu  yang Islamis. Al Fateha. Amin

Subuh Bangi
6 September 2011/ Ramadhan 1432


Sunday 4 September 2011

13. MALAM BUNGA RAMPAI

                                 Usman Awang menonton latihan teater W.S Rendra di Jogja

TELAH beberapa kali aku menonton latihan teater W.S Rendra di halaman sanggarnya di Ketanggunggan. Sesekali mencelah dalam kuliah umum yang disampaikan oleh penyair ini. Ruang  kuliah menjadi penuh padat dan kepanasan meruap. Tetapi di halaman terbukanya kita akan bebas santai menonton malah kadang kala diajak serta melakonkan gerak improvisasi bebas bersama. Beberapa orang anak ASRI yang terlibat ialah Untung Basuki dan Ken (Ken akhirya menjadi isteri Rendra ) .

Pengalaman menonton Malam Cempaka Berbunga anjuran Taman Budaya dan Dewan Bahasa dan Pustaka (1972) , telah  menambah kegairahanku untuk mengadakan acara pembacaan puisi di Rumah Pelajar Jogja. Sebagai AJK Kesenian aku memang harus merancang program sesuai dengan waktu dan ketikanya.
                               Depan> Kamariah, Rokiah, Citok, Ibrahim. Belakang kelihatan
                            Azran dan Rahman Kuraish  yang menggamatkan acara baca puisi, 1972

Malam Minggu di Rumah Pelajar Malayisa Jogja :
Ruang tamu  kugelapkan. Kamariah dan Rokiah membantuku memasang lilin, berjejer mengilingi ruang hingga ke pintu halaman . Ada yang terkejut bersuara , " Hei lestrik mati ke?? eh....macam nak sambut hari jadi, pasang lilin, banyak pulak tu".Ya, suasana acara baca puisi belum lumrah ketika itu di rumah pelajar. Azran maju ke depan, menyampai kata aluan, " Ini idea Izan, Siti baru pulang dari KL, dah ikut baca puisi dengan seniman, pelukis penyair....sekarang  dia bawa acara itu ke sini...cuma malam ini bergelar  Malam Bunga Rampai...kenapa malam bunga rampai, tanya Izan sendiri.

Memang sebelah petang sebelum malam, aku telah meminta Rokiah dan Kamariah menghiris daun pandan. Memetik bunga kemboja di jalan muka rumah, serta bunga renik yang tumbuh meliar di depan jendela...merenjis sedikit air wangi, hingga malamnya, masing-masing dipersilakan mengambil sejemput bunga rampai...ya itulah agaknya di sebut majlis Malam Bunga Rampai. Aku masih belum membuka rahsia judul malam persembahan itu. 

Selepas aku menolak Nyoman, ya memang bermacam masalah timbul. Ada ejeken, ada fitnah datang  melayang dari Kuala Lumpur. Semua itu dikhabarkan oleh ibuku dengan surat panjang. Angkara Lili membawa Nyoman mengenalkan kepada sahabat pelukis, timbul bualan, " Nyoman bekas pacar Izan ". Nyoman menjadi mangsa oleh iri Lili dan cerita ini berpanjangan hingga BaMu membuat surat panjang lain...." Lupakan aku..." Lah kenapa harus melupakan? Apa yang membuat dia menulis begitu. Tambahnya lagi, " Aku akan bertunang,  dengan J, makcik yang akan meminang" . Aku terpinga, seingatku, Mak yang suka dengan BaMu, meminta aku melupakan Nyoman. Aku terpana, kecuali catatan puisi menjadi pendamai , sehingga terciptalah lakaran puisi " Malam  Bunga Rampai".  Judul puisi ini jugalah menjadi tajuk acara baca puisi di Rumah Pelajar Malaysia.

Kubaca larik puisi itu dalam remang cahaya lilin, sambil bergerak bebas langkah demi langkah di arena ruang tamu..aku tidak melihat sesiapa  lagi kecuali bait puisi remaja itu saja, Inilah bait spontan yang mengalir begitu saja sepanjang pembacaan tersebut, yang kemudian ku edit menjadi puisi lengkap,

Malam ini
dalam sinar lilin-lilin
betapa kemesraan menjauh
menghilang dalam bayang.

Beginilah dalam genggaman
wanginya si bunga rampai
ada kuterima seulas rasa dari mana,
angin mendayu
di balik batu kaca
terbujur rumput menghijau
ah! sendiri juga memamahnya.

Malam ini
kuterima surat mama
tiada tangis bagiku
kecewa ini bukanlah yang pertama.

Dan antara kita
Kuala Lumpur dan Jogja
telah terbelah udaranya
janji tinggal di Oasis Snack Bar
kata-kata sedingin ais rumba
dan cincin ini
kenangan cuma
segenggam  bunga rampai di malam wangi
mengiringimu di malam pertunangan
kukucup impian dalam Jogja malam.

(Jogja 1972)

Beberapa bulan kemudian telah datang rombongan Pengakap Malaysia. Antaranya muncul Atondra yang juga aktif berpuisi dan mengengendalikan penerbitan majalah Pemimpin. Kutitip puisi ini kepada beliau dan Atondra menerbitkannya dalam majalah tersebut  isu  bulan Oktober 1972.  
Apakah wangi malam bunga rampai masih semerbak atau masih terhidu ...Tapi bagiku, di situlah bermula kerja penulisan puisi sebagai kerja melukis, menjahit dan laporan kajian akademik. Malam itu jugalah tampil Mohd Noh Dalimin (sekarag Prof Datuk, NC Universiti Hussein Onn), Maryati,  Tibroni, Hussein, menyampaikan rasa hati di malam puisi di Rumah Pelajar Jogja.
6 September 2011

Sunday 28 August 2011

12. KUNJUNGAN PENYAIR PENA









JOGJAKARTA 1973
ANGIN November masih membawa tiupan hangat. Hujan bagai tidak akan turun, dan Merapi kadang bebas daripada awan dan kelihatan puncaknya dari jauh, gagah perkasa. November juga musim cemasku, kerana harus menyiapkan kertas projek dan lukisan untuk persiapan ujian akhir. Bulan ini juga, PKPMI cabang Jogja telah mendapat berita dari Pusat Pelajar di Jakarta, tentang kunjungan penyair Persatuan Penulis Nasional (PENA). Hal ini disampaikan oleh Azran Abd Rahman ketika kami bertemu di Pusat Pelajar di Jalan Abu Bakar Ali. " Nah anda suka menulis puisi, inilah peluang baik berkenalan dan menyambut rombongan penulis". Aku segera melihat jadual harian.
Akhir November sudah tiba musim ujian. Aku harus menyiapkan 20 keping lukisan cat minyak, 100 keping sketsa hitam putih. Nyoman, asisten dosen sketa sudah kerap berwajah sinis. Beberapa keping sketsa sudah ditolak dengan nada jengkelnya, " Garisnya tidak lincah, tidak ekspresif..mana keberanianmu?" Persiapan ujian akhir dengan pameran solo di Aula, viva dengan diskripsi akan menyusul di minggu kedua bulan Disember. Perasaan sudah berbelah bagi memikirkan kewangan untuk membeli kain belacu, kayu bingkai dan cat minyak. Wang kiriman daripada Mak sudah berkurang, mujur masih ada sisa simpanan daripada upah membuat design pakaian kawan-kawan. Bagaimana untuk bersantai dengan acara baca puisi? Itulah rancangan kawan-kawan PKPMI di Rumah Pelajar yang mengatur acara minum petang bersambut dengan acara baca puisi. Beberapa orang kawan-kawan daripada jurusan sains juga sudah ketagih dengan acara baca puisi sejak AJK Kesenian mengatur program " Malam Bunga Rampai" menjelang malam HUT Ogos 1972.
Selain Azran Abd Rahman sebagai ketua AJK Penerangan yang sudah menulis puisi, muncul juga Idris (jurusan Sains Hayat), Timbroni (Kedoktoran) termasuk Mariati, Mohd Noh Dalimin (sekarang NC Universiti Tun Hussein Onn), sudah mendekati menulis dan membaca puisi masing-masing. Tambah Azran lagi, " Ini peluang kita, nanti lebih senang puisi kita tembus ke Dewan Sastera". Akhirnya tindakanku, ya baca puisi, kenapa tidak?
Azran juga sudah mengatur untuk mengenalkan Usman Awang dengan penyair Umbu Landung Paringgi, pemimpin Persada Group Jogja. Aku sendiri terlintas memikirkan untuk membawa mereka ke Sanggar WS Rendra. Sebagai AJK Kesenian memang aku kerap membawa rombongan yang meminati seni agar kunjungan mereka tidak hanya untuk berbelanja batik saja. Aroma Jogja, kota budaya, kadang dicemari oleh sistem dagang , dibawa berbelanja sahaja dan amat merugikan kalau pengunjung tidak mendekati budaya leluhur Jawa yang asli.Mungkin bangunan candi Prambanan, Borobudur sudah begitu popular di kalangan pengunjung, tetapi masih banyak khazanah budaya Jawa-Majapahit dan nuansa Islam patut dikunjungi. Bagi kawan seniman kerap juga kucadang mereka untuk meninjau Taman Hiburan Rakyat (THR), galeri dan muzium di kraton, Seni Sono. Tetapi untuk kunjungan penulis dan penyair ini, sempatkah mereka bertemu penyair dalam kunjungan sehari dua? Jadi pilihan mudah ialah membuat kunjungan ke sanggar WS Rendra di Ketanggungan. Sedang fikiranku masih menyeret bagaimana aku dapat membeli sepuluh meter kain belacu, perkakas kanvas lainnya dan cat. Bukankah biasanya kalau ada tamu dari Malaysia kerap membuah rezeki?
Kupecut motor Sport Honda Pickup meninggalkan kampus ASRI di Gampingan. Kutinggalkan kuliah minggu akhir (22 November 1973) hanya untuk bertemu penyair.
Menjelang bulan Disember, Jogja kerap ditiupi angin kering lansung dari arah Bukit Merapi. Aku mencelah ke PKU, menuju ke arah pejabat pos, sebelum melencong ke arah Bulaksumur kampus GAMA, membelok ke kanan menuju kali Codek langsung ke halaman rumah pelajar di Jalan Abu Bakar Ali.
Di halaman sudahpun menunggu sekumpulan kerabat PKPMI. di dalam pula sudah tersusun kerusi memenuhi ruang tamu. Aku yang terlewat tiba, mencelah ke dalam. Mereka sudah tiba dan acara sudah dimulai sehingga aku tidak dapat mendengar ucapan alau daripada dua belah pihak. Tiba-tiba namaku diseru, " Ayuh, wakil kami ialah Siti Zainon, dia penyair Jogja" . " Ha??" Agak aneh panggikan itu, aku baru mula belajar menulis puisi, jauhlah boleh disebut sebagai penyair! Dadaku bergemuruh bila mendengar suara 'Ayah' Ismail Gemuk' dari jurusan Syariah di Institut Agama Islam negeri. Beliau membahasakan dirinya sebagai 'ayah' kerana namanya sama dengan nama Abahku. Debaran itu makin memuncak dengan tepukan daripada tamu petang itu. Kuperhatikan Usman Awang, beliau tunduk sambil menghisap rokok kretek, seperti acuh saja melihat si gadis kurus ini terkial-kial mencari nota (kerana aku belum bersedia) sajak. Tiba-tiba terlihat wajah Jihaty Abadi, dan bukunya terbentang di depannya. Ideaku spontan dan bersuara, " Saya akan membaca puisi penyair Jihati Abadi". Sang penyair berasal dari Kedah tersentak, tetapi cepat menyedari lalu menghulur buku puisi itu. Pada hal aku belum pernah hafal atau membaca karya beliau. Sebaliknya sejak di sekolah tingkatan V-Vl kami haya disogok dengan puisi " Bunga Popi" oleh Usman Awang. Debaranku mula reda bila beliau kembali mendongak, tersenyum dan bersuara amat perlahan..." Siti sudah melihat penyair Malaysia membaca puisi acara Malam Cempaka Berbuang - sekarang silakan baca di Jogja ini, kami datang dari jauh ". Suaranya ramah, senyumannya manis ikhlas. Akupun terlontar di Malam Cempaka Berbunga ketika pulang bercuti tahun 1972 lalu. Ya aku berpeluang bersama pelukis Latif Mohidin . Mustafa Ibrahim, kerana acara sepontan melukis dan puisi cuba digabungkan serentak dalam acara di Taman Budaya Jalan Ampang. Daripada pertemuan itu diakrabi oleh penyair terkenal terutama Usman Awang, kami diheret makan di Benteng, termasuk penyair Kemala, A Ghafar Ibrahim. pelukis Latiff dan Ali Mabuha. Baru juga saya tahu gaya bersahabat seniman di mana saja sama, cepat mesra dan bersahabat, terutama kerana kami telah membaca karya-karya seni mereka.
Imbauan kenangan di tanah air dikejutkan dengan suara Usman Awan, " Adik-adik semua yang bakal menyumbang ilmu , anda juga beruntung kerana datang kesini, di kota Jogja yang kaya seni budaya...yang bakal mengisi persada seni tanah air". Dengan pertemuan itu saya mula menghayati puisi bila penyair Ahmad Razali, Kapten Muhamad Awang dan Yahya Ismail, bangun silih berganti membaca puisi. Hal yang terkesan ketika itu ialah puisi alat utama menyalir idea dan gejolak emosi peristiwa zaman. Tetapi selepas itu muncul Salleh Daud dengan pesannya, " Usman nak jumpa". Suara beliau ringkas dan saya makumi, " Esok Non bawa kami ke rumah Rendra ya".
Tetapi sebelum tiba esok hari, kami sudah sebeca menuju ke rumah Afandi di Jalan Solo. Memang ada sepasang mata aneh menyorot kami.
"Memang beruntung Non memilih Jogja untuk belajar seni. Tidak silap ayah menghantar Non ke sini, tentu ibumu juga gembirang kalau Non pulang berhasil membawa ijazah nanti. Ah , abang tidak berpeluang belajar tinggi, kami miskin dan iu pergi waktu abang masih kecil" Ungkapannya mengalir begitu sahaja ketika itu aku belum mampu mengeluarkan kata-kata sedangkan kenyataannya aku juga dihimpit derita di rantau. Hatiku juga bersuara, " Aku juga miskin, ayah juga tiada. Tinggal emak, hidup dengan wang mencuci pakaian dan memasak di rumah orang".
Di Galeri Afandi, beliau mengeluh lagi, " Sayang di tanah air belum ada rumah seniman dijadikan galeri seperti ini...nanti Non pulang bolehlah buat geleri mini, terbuka kepada rakyat marhen"
Esok siangnya kami sudah sampai di halaman sanggar W.S Rendra di Ketanggungan. Kebetulan tokoh penyair dan teater ini sedang melakukan latihan teater " Mastodon dan Burung Kondor". Latihan sanggar ini memang merakyat. Kerabat kampung bebas berkumpul melihat latihan yang dibuat terbuka di halaman, memang terbuka saling berselebahan dengan rumah penduduk lainnya. Rumah berdinding pelupuh buluh, kelarai dan lantai tanah latihan saling akrab - tiada batas antara ahli teater denga anak-anak yang menonton. Anah buah teaterW.S. Rendra juga terdiri daripada pelajar-pelajar dan mahasiswa di kampus persekitaran Jogja. Terdiri dari jurusan yang berbagai termasuk dari ASRI jurusan seni rupa, atau ASTI , seni tari, filem dan sebagaianya termasuk pelajar asing (dari Barat) yang sanggup bergabung dengan suasana santai dan bersahabat. Di anjung rumah keliahatan mbak Narti isteri pertama seniman ini sedang memilih buah belinjo dibantu oleh isteri kedua dan sahabat perempuan lain. Sesekali muncul Ken turut bergabung untuk megnukutai latihan. Ken akhirnya menjadi isteri Rendra hingga ke akhir hayatnya.
" Oh mana rumah teater kita? Abang rindukan suasana seperti ini, Taman Budaya kita belum menjadi juga". Saya mendengar keluhan itu bagai tertuju juga kepada ku. apakah akan dapat kulakukan kalau pukang ketanah air? Mampukah aku mempunyai sanggar sendiri?
Ketika itu juga terkintas wajah Ismail Zain , Pengarah Kebudyaan KKBS jugap pernah datang lebih awal dan mencariku di ASRI, dan menjelaskan, " Taman Budaya akan didirikan. Usman Awang salam seorang tenaga penggerak. Non cepat selesaikan kuliah , boleh bergabung untuk kegiatan seni di Taman Budaya".
Sebelum ini PKPMI telah juga menerima kunjungan Datok Ali Hji Ahmad, Menteri Kebudayaan Belia dan Sukan, juga Menteri Kebajikan Tan Seri Fatimah. Mereka bertanya bingung dengan kuliah pilihanku Seni Rupa? Amat sukar untuk menjelaskan makna dan pendidikan seni ketika itu. Di tahun 1970an kerajaan hanya mengirim pelajar-pelajar jurusan sains saja. Bagi pelajar tajaan keraan memang hidup serba cukup. Sewa rumah siap pembantu untuk masakan dan cuci pakaian. Pergi kuiah lebih teratur dan pelajar lelaki sering mendapat perhatian perempuan tempatan. Aku beruntung juga selalu dapat menumpang makan bersama di rumah kost mereka. Jadi memilih jurusan seni, kehidupan masa depan masih kabur. Tetapi dengan suara Usman Awang dan Ismail Zain, aku tahu perlu sesuatu dilakukan, kerana itu aku tidak sabar untuk menyelesaikan kuliah dan pulang ke tanah air. Ujian harus lulus dan tidak mahu mengulangi ujian. Impian untuk meneruskan pengajian ke Belanda atau Eropah ditangguh dulu. Sedang Made Wianta sahabat sekuliah telah meninggalkan kampus ASRI untuk mula mengembara ke Eropah. Namun aku dengan semangat penuh, tahu tanah air menunggu! Itulah juga pesan Usman Awang, " Pulang dulu dan buktikan wanita Melayu boleh jadi seniman berilimu!"
Pesan atau bisikan yang terhimbau di telingan saling berlapis. Bagai terdengar pula suara Hussein Enas, " Siti harus gembling pelukis tanah air". Tambah Usman Awang pula, " Pulang dulu, bantu ibu, kemudian bangun kerja senimu".
Dengan penuh harapan, menjelang keberangkatan rombongan PENA terbang menuju Bali, aku telah menyerahkan manuskrip puisi Nyanyian Malam, lansung ke tangan Usman Awang. Ini manuskrip pertama dapat kususun menjelang usia 23 tahun.Seminggu kemudian kuterima poskad kiriman Usman Awang bercop setem Bali, mengkhabarkan,
" Non memang mempunyai daya seni yang tajam. Abang sudah baca
himpunan manuskrip Nyanyian Malam sepanjang penerbangan
ke Bali. Nanti akan diedit, sepanjang pulang ke Kuala Lumpur".
Tambah beliau dalam sekeping poskad lain, " Ada sisa rupiah, nanti akan dikirim dengan gambar-gambar oleh Hassan Majid".
Memang, sebulan kemudian, aku bukan saja menerima sisa wang rupiah tetapi juga sehelai US 100.00 dua bulan berurutan. Selepas itu aku tahu ada misi panjang penuh cabaran harus kulalu kan sebelum dan setiba ke tanah air kelak. InsyaAlllah.
***
(Gambar 1: Usman Awang ketika berucap di Rumah Peljam Malaysia Jogja, Nov 1973)
(Gambar 2: peserta rombongan PENA dari kiri > Yahya Ismail (juga belajar di UI Jakarta), Azran Abd Rahman , Ibrahim (Dr) dan penyair Jihaty Abadi.
Siti Zainon Ismail


Saturday 27 August 2011

11. KEGIATAN PKPMI 1970-1973

SEKEMBALI bercuti dan membuat pameran di Kuala Lumpur, aku harus segera melakukan sesuatu di Jogja. Urusan Abah sudah selesai. Dari wang Abah aku dapat membeli motor Honda pickup warna putih dengan tayarnya yang besar, kelihatan artistik sehingga teman-teman sekampus telah melihat kegiranganku, dan menduga memang kami sudah menikah di tanah air. Namun aku masih tidak tahu berita guncingan itu. Aku kembali mendaftar untuk tahun ke dua - dengan subjek yang semakin bertambah. Subjek Estetika Seni memang menjadi pilihanku bergabung dalam kursus Filsafat Seni Barat oleh Pak Kadir dan Filsafat Jawa masih berterusan, walau bukan subjek wajib. Jogja bulan April semakin panas. Ruang kuliah di AULA yang bergabung dengan beberapa jabatan lain, sudah menimbulkan aneka bau. Bau keringat dan aku mula terasa ingin muntah. Dengan kesedaran semakin kabur, aku bangun meminta izin keluar dari bilik kuliah dan tiba-tiba Juli sahabat se rumah turut bangun dan memimbingku ke bawah. Dia menahan beca dan kami tiba di rumah Ngampilan dengan suasana yang semakin kabur. Mata ku pedih, tekak ku kering. Juli memegang tanganku, menyentuh kening, " Oh, Zan panas sekali ini kau demam keras, biar kuhuungi Pak Abas ya ( Bapak Abas Alibasyah ialah Rektor ASRI). Aku tidak menjawab, rasa semakin sesak dan anggota makin melemah - lepas itu aku tidak tahu apa yang dilakukan Juli.

Aku sudah digotong ke Pusat Kesihatan Umum (PKU) Muhamadiah. entah siapa yang mengotong (kemudian ku ketahui, Pak Abas mengarahkan kenderaan ASRI untuk membawa ku ke PKU). Aku terpinga. Rasa pening mula reda. Rasa muntah juga sudah menghilang. Tetapi beberapa jururawat sibuk memeriksa segala anggota tubuhku...
Selama 15 hari di rawat di PKU. Siapakah yang datang menjengukku. Made Wianta, Wayan Sika, Jovita, Juli kerap kali berulang. Muncul juga kawan PKPMI Rahman Kuraish, Zul dan Hussin Pawiro. Semua bertanya " Kau sakit apa ya? " Aku mengangkat bahu. Tambah Made pula " Kau tahu haaa, kau sudah di black magic sama Sang Pangeran heee" . Aku tertanya ilmu hitam? Siapa Sang Pangeran ? Made berlalu tanpa sudi menjawab kebingungan. Wayan Sika membawa bekalan makanan dalam rantang, ayam goreng dan sayur lodeh. " Ini kubawa makanan dari ibu rumah kost mu.."

Setelah kembali segar tetapi masih tidak dibenar keluar aku mula berlegar di taman PKU. Memikir juga siapa yang akan membayar kos perubatang. Wang tabungan di BNI hanya RP 5,000. Kepada siapa aku harus meminjam? Sesekali terdengar suara radio mencelah dari ruang pesakit sebelah. Suara radio amatir tiba-tiba membawa pesan, " Rombongan mahasisa Universiti Malaya sekarang sudah tiba di Jogja disambut oleh HPMI" . HPMI? Kenapa bukan PKPMI? Sebelum ini aku sudah mendapat khabar dari sahabat lamaku yang menuntut di UM yang memberi khabar, PBMUM akan membuat lawatan ke Jogja...tetapi siapakah yang akan membawa Fahmi Ibrahim, Harun, Sani dapat mencariku...siapa yang dapat memberi khabar aku sedang di rawat di PKU. Tidak ada jawaban. Sehingga aku keluar seminggu kemudian ku terima susat tulisan tangan , yang memberi khabar amat menyedih. Dadaku sebak, rasa kilau memanah mata hari. Intinya yang membuat aku bertambah bingung. " Sampai hati Izan memilih lelaki Hindu itu. Kami kecewa, seharusnya Izan pulang membawa ijazah bukan suami". Aku tidak dapat meneruskan bacaan tulisan tangan itu. Surat kugumpal tetapi kukutip semula dan ku simpan dalam beg pakaian. Siapa yang menabur fitnah ini? Keluar dari PKU keputusan ku amat jitu. Hanya setahun lagi, aku harus menyelesai kuliah. Aku sudah mendaftar untuk menulis tesis, mengambil ujian dengan subjek melebih jumlah waktu. Beberapa sahabat sekelas merasa aneh, " Kok ingin cepat pulang ya...ah kami main-main saja, tiga tahun kek, empat tahun kek ya bisa aja enjoy di Jogja. Kok kamu ingin segera pulang ? " Mungkin itulah suara Nurma atau mungkin Ginting. Wajah Nyoman juga tidak muncul lagi. Sebaliknya sesekali muncul Ehjpi mengajak ku bermalam minggu dan kami dapat makan bersama di warong sate di depan Hotel Garuda. Terbetik juga rasa senangku bila Ehji datang dengan senyuman dan matanya berbinar kalau berbicara. Kadang-kadang dia menggenggam jemariku keras sekali. Tapi selepas itu Ehjpi menghilang begitu saja. Dia lelaki segak berasal dari Johor, tinggi perkasa yang digilai cewek se kampus di Universiti Gajah Mada. Ingin juga menyampai rasa yang mula bergelora. Tetapi siapakah yang bakal memulakan gejolak rasa itu, apakah dia juga kelu? Setelah dia menghilang aku juga tidak sedih, kerana di hati ku memang kosong, aku tidak perlu sesiapa demi masa depanku. Aku harus berdikari. Tanpa kasih sayang dan dicintai aku dapat mengharungi hidup yang penuh perjuangan. Ketika inilah detik puisi semakin bergelora hingga menjadikan aku bukan saja melukis tetapi juga menulis puisi.
Di manakah aku melarikan diri? Kadang ke Karangwui bertemu adik-adik putera puteri Mami Kartika. Kadang bermalam di rumah gerobak nenek Maryati, isteri Affandi di rumah Daunnya.
Tetapi selebihnya, aku mengisi kegiataan bersama ahli PKPMI. Aku adalah ketua AJK
Kesenian. Peluang ini kutampilkan dengan latihan tarian, membuat skrip persembahan meraikan HUT Malasyia. Juga menjadi penyiar suara PKPMI di RI Jogja . Menariknya kawan-kawan semua menyokong.
Sahabat baikku Zulkifli dan Hussien Wahab sungguh menyenangkan. Kamilah sahabat tiga serangkai merencana persembahan. yang paling terkesan iaitu Pentomin Puteri Gunung Ledang. Aku menyediakan skrip berlandaskan teks Sejarah Melayu. Zul menyediakan rakaman suara dan Hussin turut membantu membuat setting dan prop pentas. Pelakon? Haaa, Mohd Noh sudi menjadi Sultan Mahmud, Maryati menjadi Nenek Kebayan, masih ramai yang terlibat, sebagai dayang. Ku lakar reka busana yang harus dipakai. Masing-masing dapat menyediakannya . Siapakah yang mengurus kewangan aku pun tidak tahu. Tetapi syaratnya , pasti memakai kain songket merah. Sungguhlah persembahan itu menjadi juga dan mendapat tepuk sorak kawan-kawan yang tidak berani naik pentas. (Sekarang kalau kawan-kawan sudi berkongsi cerita ini, tolong tambah catatan memasukkan nama anda dan gerak lakon yang telah ada lakukan dalam PGL kita )
Selain dari persembahan pentomin, kami juga membuat persembahan boria. Sesekali kami membaca puisi seperti acara Malam Bunga Rampai. Antara turut terlibat membaca puisi ialah Mohd Noh Damilin (sekarang NC Universiti Tun Hussin Onn), Zainee Ghazali ,tentu saja tugas ini disokong penuh oleh Azran Abd Rahman sebagai AJK Perhubungan dan Komuikasi. Di hari Mauludur Rasul, kuajak Husin Pawiro dan Mansur Seman untuk turut membaca puisi Sirah Nabi. Menjadi juga, kerana di kalangan ahli PKPMI nampaknya akulah yang mengikuti kursus seni. Malam makin berbintang, bercahaya bulan. Kadang awan menutup cahaya di langit. Tetapi mentari kembali bersinar di pagi hari. Aku harus melangkah harus menyonsong arus, ya ibunda anakmu harus pulang dengan ijazah seni walau belum tahu nilainya di tanah air. Subhanallah..



(Gambar 1:Penyampaiah hadiah olahraga)


(Gambar 2: PKPMI menerima kunjungan Fatimah Sham aktivis sosial dari USM)
(Gambar 3: Persembahan Pentomim Puteri Gunung Ledang)


(gamabr 4: Kumpulan Boria PKPMI)

***
29 Ogos2011








Thursday 25 August 2011

10. PUISI DAN LUKISAN TARIAN






















LATIHAN tarian di Sanggar Tari Bagong Koesdihardjo, telah membawa garis lakaranku makin dinamis. Definisi seni tari umum makin dikemaskan dengan latihan di sanggar beliau. Di sini mula meniru gerak langkah kaki dan jemari. Teapi aku tahu tidak mampu membawa gerak lelakon puteri jawa, luwes, lentok kemayu, sabar menyentik jari dan menggerak kaki sambil melibas batik wiron yang ketat itu. Amat perlahan teratur dengan ketokan saron dan gender gamelan Jawa yang terkenal luwes berbanding gamelan Bali dan Sunda.

Masuk minggu ketiga setelah menghafal gerak geleng kepala dan lirik mata, maka Pak Bagong tahu aku tidak berbakat untuk melanjutkan latihan sehingga ke acara persembahan Roro Kidul. Alkhirnya beliau mencadangku agar melukis saja semua gerak tari. Inilah peluangku untuk menampilkan ciri gerak tarian Jawa ke kanvas sebagai persiapan ke tahun tiga.

Atien Wahyuningsih akhirnya terpilih untuk melakonkan watak utama, Ratu Roro Kidul. Secara fahaman klasik dan mistik Ratu Roro Kidul begitu cantik digilai lelaki. Terakhir konon berhasil ditakluki putera raja Kratom Hamangkubuwono. Tetapi dengan memilih Atien sebagai pelakon tari utama , Kraton Jawa mula geger. Bayangkan bila pemilihan itu jatuh ke gadis bertubuh besar, tinggi, kelihatan bagai seorang olahrawati berbanding seorang penari. Kami tertanya juga kenapa Pak Bagong tidak memilih Siti Adiyati - Ateik yang lebih lansing, luwes dan memang dari kerabat kraton Jogja sendiri. Tetapi kerana tugasku melakar dan melukis gerak tari maka ku tumpukan tugas itu dengan senang hati melakar dan melukis. Gaya kelincahan gerak tari ini akhirnya membiak sebagai ciri klasikku hingga kini. Apalagi ruang tari sudah dipenuhi pukulan gamelan (latihan hanya kaset), sehingga lukisan ku makin dinamis dan lincah.

Tetapi dengan Made Wianta, cerita jadi lain pula. Made anak seorang pendeta dri Apuan Bali ,tetapi bercita untuk menjadi pelukis moden dengan mendobrak gaya tradisi Bali. Dialah calon pelukis yang kini memang sudah terkenal sebagai pelukis dunia ini mengheretku ke Sanggar Sarawasti di Kolombo, Kota Baru. Dengan bangga dia bersuara, " Ngapain menari dengan gerak gaya bebek lenggang tu, ayuh dengan pendetlah haa..kau pelukis dinamis lagi lincahkan sketsamu ....lihat aku menggamel..hee ada sesuatu cerita baru buat kau haa" . Sejak itulah masuk semester kedua, aku sudah dihias dengan busana tarian Bali, dengan kain gersinsing, rambut terhurai ke bawah bahu dan di atas bersanggul hiasan bunga kemboja. Dan bebebrapa kal sudah menjadi model lukisan potret hobi asisten dosen sketsa. Sahabat Jawa mengerling , Pak Fajar Sidik geleng kepala..." Edan anak ni sudah memBali, piye tho? " Akhirnya berita ini tersebar di seluruh kampus dan beralih ke dunia pelukis lain walau jauh letaknya dari Jogja. Pada hal aku hanya untuk menambah pengalaman, bagaimana ramai pelukis saling gembira mendapat model untuk dilukis, dan aku akan tercatat, wajahku dilukis dalam busana puteri Bali, dilukis oleh pelukis terkenal termasuk pelukis potret Sudarso, dosen kelas potret kami di ASRI.


Lukisan Nyoman yang sarat gaya ekpresionisme pula sudah digemari orang asing yang kerap datang ke sanggarnya di Jalan Prambanan. Sehingga dari sana dia juga diundang berpameran di Keduataan Amerika, Jerman dan Peranchis di Jakarta . Dia kerap melukis hingga ke Jakarta, Surabaya dan Bali. Kami pernah bergabung melukis di rumah beberapa orang biasanya kerabat kedutaaan asing di Jakarta. Aku kurang jelas dengan siasat pelukis ini. Yang jelas katanya " Selagi kita muda, kita harus ngebut melukis, tahu selera pembeli, dari sana dengan wang kita akan mudah untuk masuk ke dunia antara bangsa - untuk membina masa depan , aku akan menjadi pelukis terkenal " . Sungguh impiannya kini pelukis ini memang sudah tersohor dengan galeri mewahnya di Klungkung Bali.
Bila kami bersama melukis di Jakarta, stesen kami ialah di Galeri Seni di Jalan Gereja Theresia. di situ sudah ada pelukis lain yang berkumpul terutama pelukis Nasyah. Bila aku tiba dengan baik hati Pak Nasyar akan memberi meja tidurnya untuk kutempati. Pagi-pagi kami akan membeli sarapan - nasi pecal gerobak yang singgah di depan galeri. Kerap juga aku makan berkongsi dengan Pak Nasyar yang pendapatan lukisannya tidak bisa mnenampung kehiduapan hariannya. Atau kalau jatuh malam Minggu aku lebih senang memilih rumah singgahan pelajar Malaysia di Jalan Budi Kemuliaan. Di sinilah aku berkenalan dengan teman-teman pelajar Akademi Ilmu Pelayaran (AIP). Aku mula berbaik dengan Nizam, Mazlan dan Nik. Bersama bercanda selebihnya berdongeng dengan impian masing-masing. Mazlan kebetulan kukenali ibunya yang juga berasal dari Gombak. Jadi aku merasa selamat bermalam di situ. Cerita kami, kadang ke selatan, ke utara. Gembira anak muda. Rata-ratanya mereka sudah mempunyai pacar dan malam adalah detik menikmati kebebasan malam minggu. Aku terpaksa menunggu hingga dinihari baru mereka muncul dan kami berkongsi cerita lagi. Sehinggu aku hafal nama pacar masing-masing.


Tetapi ada perit lebih dasyat terdengar " Apa benar kau sudah pacaran dengan Pak Nyoman?". Atein bertanya. Aku tersedak dan mula menyelidik siapa di belakang tabir menemukan aku dengan kegiatan di Sanggar Saraswati, menemukan acara pelukis dan penari di situ. Cuma selepas itu satu, satu sahabat senior di ruang Ex-Reuni mula senyap. Tidak ada lagi gesaan agar kami menyediakan tulisan, sketsa dan puisi utuk jurnal Zavita. Jovita juga sudah pindah indekost sehingga aku harus juga cepat mencari bilik yang lebih kecil untuk menjimat perbelajaan bulanan.


Nyoman pula semakin gesit melukis. Kadang kami kehilangan beliau di ruang studio. Pekerjaan tesisnya sarjana (Drs) juga terbengkalai. Lukisannya tetap belum diterima oleh penilai dan ahli senat dan beliau terasa diperlecehkan hanya kerana karyanya mirip lukisan Affandi. Mungkin kegagalan mempertahan karyanya, beliau menumbuh idea lain seperti ucapnya " Aku harus cipta nama, aku akan ikut Jean pulang ke Kuala Lumpur" . Hingga hujung semester dia datang dengan tiket di tangan. " Aku sudah ada karcis pulang pergi, bawa aku pulang, aku ingin meninjau ruang pameran dan berpameran di sana ".


Aku tidak tahu apa lagi atas gesaan ini, tetapi niatnya untuk berpameran amat aku sanjungi. Tetapi pulang bercuti dengan membawa teman lelaki, masyaAllah. Pasti halilintar emak akan menerkam . Apa perasaan nenek dan emak? Entah apa pula alasan Nyoman dan bisiknya kepada teman-teman di Sanggar Saraswati , " Aku akan bertemu ibu Jean, akan melamarnya". Memang beliau kerap saja menyebut namaku dengan panggilan Jeane mengingati mantan pacarnya perempuan Itali. Ayat melamar ini baru kutemui bila berjumpa kembali Made di Bali 20 tahun kemudian di Taman Ismail Marzuki. Berita ini juga tersebar ke telinga sahabat PKPMI terutama HPMI. Masing-masing mula berjarak dengan memandang aneh dan sinis kepadaku . Ya Allah mana mungkin aku menerima lelaki itu sebagai suamiku. Dia dengan pengangan agama Hindu dengan mendalam ? Lihat saja d itelinganya selalu terjepit kembang merah atau kuning. Bunga itu biasnya memang telah di sajen di luar pintu. Hanya Allah yang tahu gelisah dan kebingunganku. Tetapi demi perjuangan sahabat pelukis, aku dengan tersenyum melangkah pulang dan Nyoman dengan penuh semangat, telah kukenalkan dengan beberapa orang pelukis antaranya Lili. Dari sana beliau berhasil mengadakan pameran sketsa di Galeri Samad . Kubawa dia ke DBP dan berkenalan dengan Usman Awang dan Latif Mohidin. Kemudian dengan Lili, beliau terus dibawa ke rumah teman pelukis lain yang tidak kuketahui siapa. Dengan ibu, telah ku beri tahu, Nyoman bukan pilihanku untuk di jadikan suami. Aku tetap dengan pengangan utamaku, Cinta tanpa pegangan agama yang sama hanya akan memudarat kasihku KepadaNya. Allahuakbar , bimbing daku Ya Ilahi!
***

(Gambar 1: Ikut serta pameran bersama Nyoman)

(Gambar 2: Berbusana puteri Bali, sempena Hari Kartini 1970)


28 Ogos 2011

Sunday 21 August 2011

9. PAMERAN PUNCAK KERJA PELUKIS


KERJA pelukis memang terus melukis. Kami harus memikirkan apa yang akan disampaikan lewat deria kepekaan seni yang sudah mengalir di jiwa. Kuliah Sejarah Seni turut memerikan gaya hidup seniman dunia. Pendekatan psikologi seni pula telah mengajar kami betapa peritnya untuk mencapai puncak. Pelukis Vincent van Gogh (1853-90) menderita kerana karya impresionisnya masih belum dapat dihayati massa. Bagai terdengar suaranya, " I use colour more arbitrarily so as to express myself more forcibly" (ungkapan ini kembali kutemui ketika berpeluang mengunjungi Muzium van Gogh di Amsterdam, 1986) . Jackson Pollock (1912-56) harus bersembunyi di stor lukisannya, menjadi agresif memercikan warna lansung dari tiub atau tin catnya sebelum muncul kolektor yang dapat mengkagumi karya abstrak ekspresionisme. Affandi sudah bertahun begitu teliti dengan melukis gaya realisme sebelum menemui gaya ekspresionisme justeru ketika beliau berada di London tahun 1950an. Puncak kerja itu semua melalui pameran bersama atau pameran solo di arena seni lukis. Inilah impian kami juga calon pelukis dari studio ASRI. Tidak semua berhasil memenuhi cita rasa dosen. Tetapi kami harus bangun berani menampilkan karya untuk pameran. Kerana semester akhir sebelum memasuki ruang viva untuk mempertahankan tesis, sebanyak 30 karya juga harus dipamerkan di ruang Aula.


Pada peringkat awal kami tidak akan melepaskan acara pameran bersama yang diatur oleh pihak ASRI sesuai dnegan acara tahunan seperti pameran sempena Hari Kartini, Hari Kemerdekaan. Begitu juga setiap anak negeri akan mengatur pameran berkelompok untuk mendekati masyarakat umum. Ini merupakan peluang bagiku untuk terlibat seperti pameran bersama di Sala Tiga dan Madiun. Selepas ujian semester 1972, aku berusaha pulang untuk menguruskan surat-surat rasmi meninggalnya Abah. Aku mendapat surat berdaftar dari Ketua Pengarah Bengkel Keretapi Tanah Melayu di Sentul. Surat mendadak itu sungguh mengejutkan, " Cik Zainon diminta pulang untuk membuktikan kamu anak kepada Ismail bin Talib" . Surat yang sungguh mengejutkan. Aku bukan anak Abah ke?

Sungguhlah wang punca rezeki. Wang juga punca pertelagahan keluarga. Entah angkara siapa wang grantduty Abah menjadi rebutan. Adik-adik Abah turut menuntut wang tersebut hingga tergamak mengatakan Abahku, Ismail tidak meninggalkan waris. Surat tuntutan tiba di mahkamah tuntutan harta di Kuala Lumpur dan satu surat salinan tiba ke pejabat Abah. Kebetulan Ketua Pengarah Jabatan Bengkel KTM Sentul masih teringat, beliau bernah mengeluarkan surat sah sijil kelahiranku ketika akan berangkat ke Jogja. Beliau sendiri memberi cop rasmi pengesahan, dan masih ingat, pekerjanya mempunyai seorang anak yang sedang belajar di Indonesia. Aku pulang dengan surat dari mahkamah dan kami bertemu di ruang keramat itu. Kulihat wajah dua orang bapa saudaraku.Sungguh tega mereka mengaku abangnya tidak ada waris. Mahkamah bersidang untuk aku mengangkat sumpah, mengaku aku adalah puteri tunggal Ismail bin Talib.

Mataku berkunang-kunang melihat gelagat manusia yang ghairah terhadap wang pusaka. Tetapi aku simpati juga kepada mereka yang pasti terdesak dan berhak mendapat wang abang mereka. Dengan rela aku segera memberi dengan suka rela...mengambil hanya 50 % wang tinggalan Abah. Biarlah 50% itu diserahkan kepada keluarga di kampung, kerana selama ini memang mereka menguruskan kebun pusaka nenekku. Aku melangkah pulang tanpa peduli wajah mereka yang terpinga-pinga kerana aku tidak menuntut balik kelakuan mereka yang sanggup menidakkan aku waris tunggal abang mereka. Aku pelukis dengan kerja mewarna kanvas. Mereka adalah pengguris, mengguris hatiku luka. Biarlah.

Tugas pelukis tiba-tiba datang dengan mengejut. Angkatan Pelukis Malaysia mengundang aku membuat pameran tunggal di British Council. Sekali ini duniaku semakin berwarna. Selama sebulan bercuti kugunakan untuk melukis dengan gembira . Hussein Enas, Syed Ahmad Jamal, telah datang melihat karyaku di pondok kecil kami di Batu 5 Jalan Gombak, gembira dengan lukisanku yang bergaya Ekspresionis warna meledak panas hasil karya seorang anak muda berusia 22 tahun. Tanpa sokongan APS, mungkin aku tidak akan menjadi seperti hari ini . Pameran ini dirasmikan oleh Senator Kamarul Ariffin. Maka sibuklah kawan-kawan persekolahan yang masih kuliah di UM, di ITM berdatangan dan mula percaya bahawa pelukis ada harapan di masa depan. Insyaallah.

21 Ramadhan 1432/21 Ogos 2011
*****
(gambar 1: Pameran dirasmikan oleh Senator Kamarul Ariffin , sekarang Tan Sri, 1972)
(gambar 2 : Pameran bersama di Madiun, 1971)
(gambar 3: Pameran bersama di Senisono, 1970)


























































Saturday 20 August 2011

8.DARI SEJARAH KE ESTETIKA SENI

1.


KULIAH tahun dua, makin terasa cabarannya. Dosen Sejarah Seni Lukis Moden disampaikan oleh Pak Sudarso MA. Dosen lulusan luar negara ini memang segak dengan sedikit senyuman sinis. Kami selalu menghindari jelingan matanya degan senyuman setiap kali beliau mengemukakan soalan kepada mahasiswanya. Ini kuliah wajib untuk semua jurusan. Bererti kuliah diadakan di Aula (Dewan Utama) yang turut diikuti juga mahasiswa tahun akhir terutama yang sedang membuat tesis ijazah sarjana untuk mendapat gelar Doktorandus (Drs, lelaki / Dra, perempuan). Buku teori dan sejarah seni lukis utama yang menjadi rujukan ialah hasilt tulisan Sir Herbert Read . Beliau adalah tokoh yang kukagumi kerana selain pengkaji seni lukis dan pengkritik seni, beliau juga adalah penyair sekali gus pengkaji sastera Inggeris. Buku utamanya The Meaning of Arts (1931) dan Art Now (1933). Tetapi seksanya buku rujukan amat terbatas. Perpustakaan hanya mempunyai dua buah untuk satu judul. Bererti siapa cepat ke perpustakaan dialah yang akan menyambar buku tersebut. Barangkaki ini kelebihan ku kerana, kerap cepat mendapatkan buku tersebut. Ini kerana senarai buku rujukan sudah dicatat dalam data kuliah stensilan yang dijual oleh para dosen. Yang payahnya ialah untuk melihat ilustrasi lukisan yang tidak dapat diperbesarkan seperti tayangan slide. Teknik ini belum digunakan di kampus kami. Namun unik atau anehnya penjelasan dosen sejarah cukup menarik. Mereka begitu setia bercerita tentang karya sama ada dari sudut aliran, subjek lukis, termasuk susunan warna dan garis.



2.


Kuliah Sejarah Seni Lukis Moden tidak dapat mengalah subjek Estetika Seni bimbingan Pak Kadir MA dan subjek Seni Bina Tradisional Agung Dunia. Dalam kuliah Seni Bina, Pak Gun

menekankan keagungan tamadun bangsa Indonesia tidak dapoat dipisahkan dengan penjelmaan seni arca, seni bina, dan kesenian tekstil terutama ukiran dan batik. Di sinilah kami digalakkan membuat kerja bandingan dari sudut sejarah berlandaskan estetika seni , sebagai unsur penting melihat pemikiran pengkarya seni itu sendiri. Mungkin subjek seni tradisional ini merangsangku, , untuk membukti masyaraakt Melayu Nusantara sudah lama bertamadun sebelum kuasa Eropah datang menjajah ke tanah nenek moyang Nusantara.


Mengikuti kuliah ini bererti kami wajib menyediakan kertas projek, sebagai memenuhi syarat lengkap untuk markah utama. Menyediakan kertas projek inilah yang paling kugemari. Setiap kertas yang telah disemak dosen dan dikembalikan akan ku sunting sesuai sebagai rencana dan segera ku hantar ke penerbitan Dewan Sastera. Inilah salah satu cara untuk aku mendapatkan wang perbelanjaan selama kuliah di ASRI.
***
(gambar 1: Esei pertama ku terbit di majalah Dewan Sastera, 1973)

(gambar 2: Illustrasi, sketsa Kala Mukara, menghias pintu agung di candi Prembanan)
***


21 Ogos 2011/21 Ramadhan 2011.

Friday 19 August 2011

7. WALAU TANPA BIASISWA



1.

MEMASUKI dunia pendidikan di rantau, aku sudah diberitahu sejak masih di Kuala Lunmpur. Pesan emak, " Cepat cari keluarga dan sahabat dari tanah air sendiri ". Keluarga? Kebanyakan keluarga kami berada di Ranah Minang, Di Tanah Jawa? Hingga hendak berangkat, sekali lagi emak berpesan, " Kita tidak ada keturunan Jawa..tapi ada teman ayah Wan Chik, dia tokoh politik berjuangan menjelang kemerdekaaan. Tapi dianggap orang kiri. Sekarang terkenal di Jakarta, membuka perniagaan bank. Carilah dia" . Di mana kan kucari kerana tanpa alamat cuma namaya disebut sebagai Bapak Iskandar. Tetapi kerana sudah tiba di Jogja kulupakan saja nama tokoh itu. Apa lagi aku sudah ada tempat berteduh dan berlindung di Sanggar Seni milik Kartika dan Saptohoedoyo, juga rumah daun Affandi. Sehingga teman sekampus sering mengejek, " Enak jadi anak Malaysia bisa lansung di terima di rumah pelukis tersohor, wah, asyeeek ya".


Tetapi tidak semestinya aku menempel selamanya di situ menumpang kekayaan orang lain.Aku harus berusaha untuk bisa berdiri sendiri. Menyedari aku bukan pelajar yang dihantar oleh pemerintah dan tanpa biasiswa, aku harus bijak menata diri. Kedatanganku ke Jogja adalah dengan wang hasil pameran solongku (Februari 1969) yang diusahakan oleh guruku Nas Achnaz di Shah Motel dan sebanyak 30 karyaku lukisan batik, pastel dan sketsa hitam putih telah diborong semua oleh Datuk Shah, dengan bayaran sebanyak RM 2,000. Aku hanya membawa RM 1,000 dan sisanya kutinggalkan untuk emak yang kukira wajar kuberikan kerana emaklah satu-satu yag mengetahui keinginanku. Wang yang ditinggalkan boleh dijadikan modal kerja sulaman dan hasilnya pasti emak dapat menambah wang kiriman bulanan kepada ku kelak. Cikgu Idris Salam juga menambah tabunganku setiap bulan hasil jualan lukisanku yang dipamer jual di Galeri IBHAS Pasar Minggu. Ya sejak ayah Dei Wan Chik jatuh perniagaannya sumber kehidupan kami tidak menentu. Kedai bukunya di Jalan Tunku Abdul Rahman di depan panggung Odean pula tidak mampu menjadi keluarga kami kaya. Tetapi beliau tetap bertahan dengan menerbitkan buku Sirah Nabi. Hasilnya tetap berbalai dan inilah janji wang saku bulananku di Jogja.


Tanpa menduga kesukaran hidup di rantau, aku berani melangkah dengan gaya seorang pelajar, harus berani dan cekal, mampu ketawa dan lincah. Pesan Abah pula , " Rezeki pemberian Allah. Insyaallah Abah akan kirim RM 100 sebulan". Itulah janji dan nekadku, pergi belajar tanpa wang biasiswa. Lamaran permohonan MARA belum ada jawaban.

2.


Menjalin persahabatan dengan pelajar Malaysia harus cepat kulakukan. Daripada Hamadah Ghazali dan Kamaruddin di Salemba Jakarta, kudapatkan senarai nama aktivis pelajar dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI). Dari situlah kutemui pelajar Malaysia yang kebanyakannya belajar tanpa biasiswa rasmi dari kerajaan. Nama seperti Murad Mat Jan, Ramli Isin, Abdul Rahman Kaeh, Ismail Mad, adalah sahabat dan ' abang' yang begitu baik menerima kedatanganku. Mereka adalah mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Masih ada kelompok anak-anak Kelantan yang begitu prihatin menerima kunjunganku ke rumah kongsi mereka. Umumnya mereka ini mengikuti kuliah di Institut Islam Negeri. Kumpulan Pelajar ini mendapat biasiswa daripada Kerajaan Negeri Kelantan dan Kedah tetapi masih bergabung dengan PKPMI antaranya ialah Azran Abdul Rahman dan Rokiah yang kerap menerima kunjunganku untuk makan malah bermalam di rumah mereka. Dalam kumpulan ini aku kembali menemui sahabat sekolah rendahku Salmiah yang mengikuti kuliah Syariah.


Malah lebih terbuka aku juga mencari sahabat dan menjalin rasa kekeluargaan dengan pelajar Himpunan Pelajar Malaysia di Indonesia (HPMI). Kumpulan ini agak mengasing diri dengan PKPMI dan aku cuba berdiri antara dua kumpulan ini, dan mereka juga dapat menerimaku ku dengan baik. Memang ada kawan PKPMI merasa aneh, bagaimana " Awak yang berpakaian gaun, skirt boleh diterima di HPMI?"


3.

Hidup kita semua ditentukan oleh Takdir Allah swt. Hanya setahun wang kiriman lancar dari tanah air. RM 100.00 dari Abah. Tetapi genap setahun ayah Dei Wan Chik pergi meninggalkan kami yang masih teraba menentukan pacuan hidup. Kiriman wang dari Mak makin mengurang, hanya RM 50.00 sebulan. Cuma aku tertanya juga kenapa petaka takdir ini harus kulalui begitu cepat, kerana sepuluh bulan kemudian menyusul pemergian nenekku yang menjagaku sejak kecil. Abah pula menyusul sepuluh bulan kemudian di tahun kedua. Hanya doa mengeiringi mereka agar di terima Allah swt dengan penuh keberkahabn Ilahi. Bagaimanakah kehidupanku buat masa depan di rantau? Harus pulang ! Itu usul keluarga tetapi Mak turut bertahan, sanggup menyaraku. Walapun pemergian Abah dirahsiakan, kerana peristiwa terjadi ketika aku sedang menghadapi ujian semester kedua , kuterima berita pemergian mereka dengan redha, dan aku harus bersedia menghadapninya. Untuk pulang tanpa menyelesaikan kuliah tidak sekali. Semua peristiwa ini tidak kuratapi. Inilah takdir Ilahi dan aku tidak akan merayu, bersedih sebaliknya dengan nekad aku sudah berencana untuk mencari wang saku. Antaranya aku kerap membuat lakaran- sketsa, melukis di emper toko Jalan Malioboro. Kadang memanjat Prambanan dan Borobudur, melukis dan menjual karya itu kepada pelancong asing. Tidak ada kawan-kawan ku baik teman sekampus mahupun pelajar PKPMI tahu rahsia kerja seni ku ini. Aku masih ketawa. Sesekali singgah di rumah kost mahasiswa Malaysia yang mendapat biasiswa, tumpang makan di sana ! Atau kalau aku bermalam di rumah Azran dan Rokiah, mereka dengan gembira mempelawa aku makan di situ tanpa mereka ketahui aku memang tidak mempunyai wang ketika itu.

Mungkin Rumah Pelajar di Kota Baru yang ditempati Onn , Hussin, kerap menerima kunjungan ku dan mendapat jajan percuma. Kadang ada yang mengundangku makan malam Minggu. Dan mereka tidak pernah tahu, aku tidak cukup wang untuk berbelanja besar. Mungkin penampilanku yang sering ' bergaya ' - pada hal semua pakaian yang kupakai adalah adalah hasil jualan rekaan design yang kubuat untuk teman-teman sekampus , dan aku mendapat upah dengan bentuk kain dan aku menjahitnya bersama Mbak Ana. Atau aku memotong dan menyembatnya dengan rapi, haaa baju jahit rembat tangan, tidak ada yang perasan. Yang penting aku selalu memakai baju baru yang potonganya memang aneh di mata mahasiswa Malaysia lain. Mungkin inilah kelebihan pelajar seni, kerana mampu mereka cipta pakaian dan barang seni yang boleh menjadikan sandaran hidup, berkarya dan menjualnya kepada teman-teman sekampus.

Kadang rezeki bertambah, kalau ada rombongan rasmi dari tanah air. Aku kerap menawar diri untuk menjadi pemandu perjalanan mereka ke Prambanan atau ke Borobudur. Rombongan PENA juga memberiku percerahan puisi dan kehidupan masa depan. Aku sebeca menghantar Usman Awang ke rumah Affandi dan ke Sanggar Rendra di Ketemanggungan. Pesan Usman Awang, " Teruskan perjuanganmu, tanah air menunggu kepulangan seniman wanita yang dinamis ". Usman Awag turut sedih kerana aku tidak mendapat biasiswa (Permohonan pinjaman MARA memang ditolak), sehingga beliau dengan penuh bertanggung jawab menitip US 100.00 sekembalinya ke tanah air.

" Jangan merayu dan minta wang percuma kepada orang kalau kita kesusahan. Kita ada tenaga dan ada fikiran. Buat yang terbaik untuk hidup ". Itulah pesan Mak yang tetap ku ingat. Selepas itulah tulisanku tentang seni budaya Jawa telah terbit di Dewan Sastera termasuk, puisi dan sketsa. Inilah antara wang sumber kehidupanku di Jogja. Kemala sebagai editor dengan setia mengirim wang puisi dan sketsa (RM 20 + 20) dan esei (RM 100) tiba juga dalam bulan-bulan tertentu, lewat kiriman wang yang dapat kutunaikan di Bank Indonesia hampir dua bulan sekali. Sesekali rombongan Menteri datang, atau wakil kerajaan mengunjungi PKPMI.Ini adalah peluang punca rezeki. Setiausha peribadi YB Hussin Onn datang ke rumah kost ku di Ngampilan dan memilih lukisan potret ku dan menyisip wang RM 100. Sokongan moral yang lebih memberiku semangat untuk bekerja melahirkan karya seni. Beberapa tokoh pendidikan seperti Datuk Rahman Arshad juga memberi semangat kasihkan ilmu dan seni. Hidup perlukan perjuangan. Siapakah yang berkata begitu? Tetap pesan Abah kugenggam, walau beliau tidak sempat melihat kejayaanku menggenggam Ijazah Sarjana Seni dari ASRI. Al Fateha ya Abah, ayah Dei Wan Chik dan nenek yang tidak melihat kejayaanku. Syukur Emak sempat menikmati hasil jerih perih puterinya dengan sokongan beliau juga. .Allahuakbar.


(Gambar 1: bersama pelaja tanpa Biasiswa)

(Gambar 2: Kami berkelah ke Gembiraloka, zoo Jogja)

***

20 Ogos 2011/20 Ramadhabn 1432





6. ZAVITA GRUP


MALAM MINGGU , baru kukenali erti WAKUNCAR - waktu kunjung pacar atau apel malam minggu. Ibu kos sendiri bertanya,
" Eeh, kamu kok nggak wakuncar? "
"Ha?"
" Ya lah pasti pacar akan datang tho, malam minggu, biasalah anak kos sibuk keluar dengan pacar ".
Aku sebilik dengan Jovita (bunyi Yovita) puteri keturunan Tiongha dari Palembang. Berbanding dengan teman-teman perempuan lain, hanya kami yang masuk ASRI setelah menamat sekolah menengah. Tapi teman-teman lain, sudah pernah keluar dan drop out dari kampus yang pernah keluar dan drop out dari kampus yang berbagai. Mbak Wati pernah kuliah ekonomi di Solo. Nurma Tarigan konon keluar dai kampus di Medan. Juli dan Indrawati tidak jelas, apakah pernah kuliah atau belum. Yang jelas ASRI seakan menjadi kampus pelarian mahasiswi dari daerah masing-masing atau lari meninggalkan masa 'sejarah doeloe' mereka. Itu canda Nurma, bila ku tanya, " Eeh dulu sudah kuliah di mana ya? " Jawabnya , " Ah ogah aku, pokoknya by, by, danau Toba"
Riuhlah anjung depan rumah kost kami di Kuncen 4. Setelah magrib rumah kami sudah sunyi kerana 6 orang penghuninya sudah terbang dengan pacar masing-masing. Kadang tidak jelas siapa pula pacar mereka. Kerana mereka saling akrab bercanda.Rata-rata yang datang ialah mahasiswa senior. Ada Wardoyo, Andrein, Yan, Giono. Mbak Wati agak lewat keluar kerana dia harus sabar menunggu 'Oom' yang datang lewat di waktu terlarang. Aku dan Jovita memang bagai dara pingitan yang saling diintai dari jauh malah dari jarak dekat. Giono sudah berulang kali mengetuk jendela (kerana bilik kami paling depan), kadang hingga jauh malam, sehingga Jovita kerap bergulung-gulung dalam selimut, " Izan tolong, aku ngak mahu apel malam minggu dengan dia..." Kami mendiamkan diri dalam kegelapan, mematikan bola lampu tanda kami tidak ada dalam bilik. Kebetulan di depan rumah kost kami memang ada warong makan Bu Brojo. Di situ tumpuan bujangan untuk jajan atau memang membayar makan di situ. Ketukan jendela berbunyi lagi, getus suara Jovita " Ehh tadikan skuter juga pergi kok ngetok lagi " .
Tiba-tiba terdengar suara, " Izan..hei Nyoman lagi mahu bicara sama kamu, dia di warong Bu Brojo, datang ya " . Kami malah makin ketakutan, bila mendengar nama Nyoman. Nyoman Gunarsa ialah asisten sketsa yang galaknya bukan main, bila menilai sketsa kami. Dia seenaknya berdecap decip melihat sketsa kami yang tidak lincah, garis ragu-ragu tanda tidak berani . Setengah jam , ketukan di jendela kedengaran lagi, Kami tetap mendiam diri, belum waktunya untuk Wakuncar.
Cerita ketukan jendela berloncatan ke kantor ex-Reuni tempat kami mengadu cerita. Kantor ex-Reuni ini sudah digunakan sebagai kamar aktiviti mahasiswa senior yang dulunya merupakan bilik sekritariat MAPRAM (Majlis Ploncoan Mahasiswa). Sekarang masih digunakan oleh para senior itu antaranya Joko Setyohadi, Guntur, Soenarto, Soepono, Abadi, Yohannes, Handok0, Mukamil. Dan yang junior hanya kami, aku dan Jovita. Guntur paling rajin meledek kami , sekaligus mewancara yang berbagai-bagai sehingga keluarlah artikelnya di surat khabar Jogja tentang " Izan suka melukis " . Mereka juga sudah mengetahui, aku menyukai dan menulis puisi. Maka bermulalah sesi penerbitan jurnal puisi tulisan tangan yang menakjubkan. Hampir setiap malam kami harus menyiapkan tulisan berupa puisi, rencana pendek, komentar karya dan sketsa.Mereka pula sebagai penyunting akan menyiapkan juga tulisan masing-masing. Semua harus tulisan tangan. Bayangkan bagaimana 'cantik'nya kerja tangan pelukis ASRI. Memang ada yang menaip tetapi kabonnya sudah luntur dan hampir tidak dapat dibaca. Maka lebih artistik dengan tulisan tangan dan sketsa. Setiap malam kami dapat menyediakan 4-5 keping tulisan dan kami kumpul untuk bacaan bersama kalau kami datang berkumpul di situ...itulah jurnal kami ZAVITA (gabungan nama Zainon +Yovita) Grup.

Di hari lain, akan kami siapkan setiap projek lebih awal. Hari-hari sejarah sudah kami tanda
kalenda harian umpanya : 1) Pameran Sketsa Hari Kartini, April 2) Pameran Hari Kemerdekaan, Ogos ( 3) Pameran Hari Sumpah Pemuda, Oktober - biasanya pameran keliling . Semua dikelolakan oleh AJK senior dan baru di kampus. Di kantor ex- Reuni itulah menjadi saksi kami di jaga- kawal oleh ZAVITA GRUP.

Nama Nyoman sudah juga disebut tetapi mereka sang Raka Senior berpesan, " eh Nyoman banyak pacar lho.." Tiga bulan pertama aku selamat menolak undangan bermalam minggu dengannya. Siapa sangka selepas itu Nyoman dapat membuka jendela hariku atau bukankah kerana Made Wianta yang mengajakku ke Sanggar Saraswati untuk melihatnya menggamel gender dan saron di situ?

***

18 Ramadhan 1432/18 Ogos 2011

(Gambar 1: Bersama Nurma Tarigan dan Jovita, 1970)

(Gambafr 2: Persiapan acara persembahan Ratu Cantik sempena Hari Kartini, di Galeri Senisono , Aprill 1970)